06 September 2007

CARA Membiasakan Anak Berfikir Kritis

vektor: freevector.com

CARA MEMBIASAKAN ANAK BERFIKIR KRITIS

PERNAHKAH Anda mendapati si kecil sedang mengamati langit dan sesaat kemudian menanyakan kenapa langit biru, kenapa kalau mau hujan langit menjadi hitam?

Atau mungkin kenapa telur bisa berubah menjadi ayam?

Bagi sebagian orangtua terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut dianggap cukup merepotkan dan membuat pusing.





Jangankan untuk menjawab pertanyaan anak, bisa jadi orangtua tidak memiliki pengetahuan cukup untuk menjelaskan pertanyaan anak.


Karena selama ini orangtua tidak pernah peduli dan berusaha mencari tahu kenapa langit biru.

"Bila anak menanyakan hal-hal yang membutuhkan jawaban yang melibatkan proses analisa atau mengamati bagian per bagian, sintesa atau menyatukan bagian demi bagian menjadi satu keseluruhan yang utuh, evaluasi dan pada akhirnya menyimpulkan sendiri fakta yang diperoleh, itu menandakan anak mulai berpikir kritis,"jelas Evy Rakryani, Psikolog Anak kota Batam.

Berpikir kritis merupakan proses berpikir yang tingkatnya lebih tinggi dari sekedar berpikir biasanya.
Seseorang yang memiliki pemikiran kritis biasanya gemar mempertanyakan sesuatu yang bagi kebanyakan orang sudah dianggap atau diterima sebagai suatu kelaziman.

Misalnya, mengapa langit itu biru, mengapa kita harus peduli terhadap pemanasan global (global warming), apa akibatnya bagi kehidupan manusia, dan sebagainya.

Artinya, orang yang berpikir kritis tak akan mudah menerima atau "menelan" informasi yang diperolehnya begitu saja.

Tapi akan memanfaatkan kemampuan intelektualnya untuk mencari kejelasan masalah, ketepatannya, relevansinya dengan dunia nyata, bukti-bukti yang lebih akurat, maupun alasan-alasan yang lebih dapat diterima akal sehat.

Jadi, seseorang dikatakan berpikir kritis bila dalam proses berpikirnya sudah melibatkan proses analisa, sintesa, dan evaluasi dengan tujuan untuk mendapatkan fakta-fakta yang dapat diterima secara logis.

Hal ini bisa dilihat pada anak yang senang bereksperimen dalam kegiatan sains, misalnya.

Secara alami anak-anak memang memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar tentang banyak hal yang diamati dan terjadi di sekitarnya. Itulah kenapa anak-anak menjadi sering bertanya.

Dari pertanyaan anak, orangtua bisa menilai apakah anak cukup kritis atau tidak.

Pertanyaan seperti apa ini, siapa itu, mau ke mana, adalah pertanyaan yang sifatnya sekedar untuk mendapatkan atau mengumpulkan informasi dan tidak melibatkan proses berpikir kritis.

Tetapi bila pertanyaan anak sudah lebih tinggi lagi kualitasnya, misalnya mengapa ini dan itu beda, bagaimana caranya, dan sebagainya, bisa dikategorikan kritis karena membutuhkan analisa untuk menjawabnya.

"Kebiasaan berpikir kritis merupakan hal yang harus diajarkan, dilatih dan diasah sejak dini yakni saat anak sudah mulai bisa memiliki nalar yang bagus. Perlunya latihan itu karena setiap manusia yang lahir lebih cenderung menerima apa adanya,"ungkapnya.

Bila anak dibiasakan berpikir kritis sejak dini, mereka akan menjadi pribadi yang lebih disiplin dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya.

Misalnya karena takut mencemari dan merusak lingkungan, anak akan selalu membuang sampah di tempatnya. Atau anak akan lebih efisien menggunakan air agar bisa berhemat air untuk generasi mendatang dan sebagainya.

"Dengan membiasakan anak berpikir kritis berarti kita membimbingnya menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab akan tindakan-tindakannya dan tidak mudah digerakkan ataupun terpengaruh dengan pendapat umum yang belum tentu benar,"pungkasnya. (*)

Ajak Anak Berdiskusi dan Bereksperimen

UNTUK membiasakan anak agar selalu berpikir kritis memang tak semudah membalik telapak tangan.

Selain faktor intelektual anak, peran orangtua untuk menumbuhkan sikap kritis anak sangatlah besar. Misalnya dengan membimbing anak agar terlatih menilai informasi secara kritis.

Bila anak kerap bertanya, hal tersebut merupakan sesuatu yang normal.

Sebab, masa kanak-kanak merupakan masa mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang banyak hal yang terjadi di sekitar kehidupan si anak.

Bahkan kualitas pertanyaan yang diajukan anak dapat menjadi indikator tingkat kecerdasannya secara umum.

"Bila orangtua hanya ingin memuaskan rasa ingin tahu anak, orangtua bisa menyediakan berbagai buku pengetahuan di rumah. Tapi bila ingin anak memiliki kemampuan berpikir kritis, maka rajin-rajinlah untuk mengajak anak berdiskusi dan melakukan eksperimen bersama di rumah,"jelas Evy Rakryani, Psikolog Anak kota Batam.

Misalnya ketika anak menanyakan apakah menanam pensil bisa tumbuh layaknya menanam kacang, orangtua sebaiknya tidak langsung memberikan jawaban tapi ajak anak untuk melakukan eksperimen.
Satu pot ditanami kacang tanah, satu pot lagi ditanami pensil.

Selanjutnya amati dan catat perkembangannya setiap hari. Setelah seminggu atau dua minggu pengamatan, bandingkan hasil kedua pot tersebut dan ajak anak untuk menarik kesimpulan hasil eksperimen.

"Menarik kesimpulan pun harus tetap menggunakan pengamatan analitis. Misalnya kalau eksperimen yang dilakukan gagal harus ada penjelasan kenapa gagal. Mungkin sifat tanahnya kurang subur, atau karena sifat benda itu sendiri, serta berbagai kemungkinan lain bisa diterima akal. Dengan berbagai kemungkinan tersebut, kita lebih terdorong melakukan eksperimen sebagai bentuk pembuktian,"katanya.

Memang tidak mudah bagi orangtua untuk membiasakan anak agar selalu berpikir kritis. Karena untuk menstimulasi anak agar bisa lebih kritis dalam melihat sesuatu, orangtua perlu menyediakan waktu untuk mengajak anak berdiskusi tentang hal apa saja yang sedang menjadi minat anak.

Bukan hanya itu, orangtua juga harus lebih banyak belajar agar jawaban yang diberikan pada anak memang jawaban yang benar dan bukan asal-asalan yang bakal membodohi anak. Sehingga, bila orangtua tidak bisa menjawab pertanyaan anak, orangtua bisa mengajak anak untuk mencari jawaban secara bersama-sama. Dengan begitu anak akan menyadari kalau orangtua pun perlu belajar.

"Meski orangtua sibuk, sebisa mungkin jangan melewatkan waktu untuk membimbing anak dan mengajaknya berdiskusi serta bereksperimen. Sebab sangat disayangkan kalau rasa ingin tahu anak akan sesuatu 'dimatikan' begitu saja dengan alasan-alasan kesibukan orangtua ataupun minimnya informasi yang dimiliki,"ungkapnya.

Apalagi, dunia informasi sudah sedemikian luas terbuka, sehingga kesempatan anak untuk berkembang menjadi pemikir yang kritis semakin terbuka. Tinggal maukah kita meluangkan waktu untuk membiasakan anak berpikir kritis? Sebelum membiasakan anak, maka biasakanlah diri kita sendiri untuk melakukannya. (*)

Ajari Anak Melakukan Analisa

AGAR anak memiliki kemampuan untuk selalu berpikir kritis ada sejumlah hal yang harus dilakukan orangtua. Termasuk melatih anak untuk melakukan langkah-langkah yang bisa membantu anak menumbuhkan keinginan untuk selalu berpikir kritis. Lantas, apa saja yang bisa dilakukan orangtua untuk membantu anak? Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:

a. Analisa

Proses analisa melibatkan kemampuan untuk memecah informasi kedalam bagian-bagian yang lebih kecil. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan antara lain, tentukan perbedaan dua hal atau benda, jelaskan, bandingkan, pisahkan, kelompokkan, susun, dan sebagainya. Misalnya apa perbedaan antara telur katak dan telur ayam?

b. Sintesa

Proses sintesa melibatkan kemampuan menerapkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dan kecakapan untuk memadukan bagian-bagian informasi menjadi suatu pola baru.
Hal ini bisa diterapkan dengan mengajukan pertanyaan seperti perpaduan atau kombinasi dua hal atau benda. Susunlah kembali, gantilah sesuatu dengan yang lain, coba ciptakan, rancanglah, temukanlah, apa yang terjadi bila terjadi perubahan, dan sebagainya.
Misalnya apa yang kira-kira akan terjadi bila seekor sapi mengerami telur?

c. Evaluasi

Proses evaluasi melibatkan kemampuan untuk memutuskan atau menentukan berdasarkan kriteria yang ada, tanpa mempedulikan jawaban tersebut benar atau salah. Dalam hal ini yang dilatih adalah kemampuan nalar (reasoning) si anak bila harus menilai suatu fakta berdasarkan kriteria tertentu.
Gunakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: taksirlah, tentukanlah, ukurlah, pilihlah, coba simpulkan, bandingkanlah, dan sebagainya. Contoh pertanyaannya, apa persamaan secara umum yang terdapat pada hewan-hewan yang mengerami telur? Seandainya Presiden Sukarno tidak pernah hidup, perbedaan sejarah apakah yang sekiranya akan terjadi pada bangsa kita? (ndy)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir, silahkan tinggalkan komentar Anda